Seribu Satu Dongeng Peserta Beasiswa - Kebangkitan Kaum Du’Afa, Bidikmisi Memutus Mata Rantai Kemiskinan

Sahabat Edukasi yang sedang berbahagia...

Kisah para peserta Bidikmisi ini begitu menyentuh dan inspiratif, alasannya yang mereka sampaikan yaitu realitas, bukan sekadar retorika indah buatan para motivator.

Bersamaan dengan aktivitas silaturahim penerimaan Bidikmisi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menyerahkan buku kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono sekaligus meluncurkan buku berjudul 'Kebangkitan Kaum Duafa, Bidikmisi Memutus Mata Rantai Kemiskinan'. Buku ini berisi sebagian dongeng para peserta Bidikmisi.

Disebutkan dalam buku itu, ada dua kendala besar bawah umur keluarga miskin tidak memasuki gerbang pendidikan tinggi. Pertama, terang betul, faktor ketiadaan biaya. 

Kedua, yang merupakan dampak dari faktor pertama, bawah umur keluarga miskin kebanyakan tidak berani mencanangkan impiannya hingga tinggi. 

Untungnya, sekarang pintu-pintu susukan pendidikan untuk mereka telah dibuka, bahkan susukan tersebut akan senantiasa ditingkatkan efektivitasnya. Program pemberian Bidikmisi yaitu salah satu di antaranya.

Bidikmisi yaitu aktivitas pemberian biaya pendidikan yang diberikan Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada mahasiswa dari keluarga ekonomi terbatas tapi mempunyai potensi akademik memadai.

Sejak pintu susukan dibuka pada 2010, sebanyak 149.180 mahasiswa (sampai tahun akademik 2013/2012) anak keluarga miskin sanggup mengenyam pendidikan tinggi di banyak sekali kampus populer di Indonesia, termasuk di perguruan tinggi swasta yang dimulai semenjak 2012. Mereka terbukti sanggup mengikuti perkuliahan dengan baik, bahkan banyak di antara mereka yang bisa berprestasi.

Saharuddin misalnya, peraih IP 4,00 dari Politeknik Negeri Pangkep dan didapuk mahasiswa yang lulus paling. Padahal, beliau berasal dari keluarga petani miskin.

Tirza Puji Syukur asal Bojonegoro pun demikian. Puji selama lima semester berturut-turut di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya bisa mempertahankan IP 4,00. Rekannya, sesama peserta Bidikmisi dari fakultas dan universitas yang sama, Risma Pratiwi, juga bisa mengukir prestasi IPK 3,9. Itu juga yang diraih oleh Ria Rossi dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajahmada dengan IPK 3,97.

Winda Patrani Senduk memperoleh IPK 3,93. Peserta Bidikmisi angkatan 2011 asal Sulawesi Utara ini kuliah di Universitas Manado Program Studi Pendidikan Ekonomi. Masih dari Sulawesi Utara, ada Markus Pantouw yang menimba ilmu di Politeknik Negeri Manado, Program Studi D4 Akuntansi Keuangan. Pria kelahiran Desa Talawaan, Kab. Minahasa Utara, ini masuk tahun 2011 dengan IPK 3,89.

Bagai keajaiban

Selain prestasi akademik, peserta Bidikmisi ternyata juga menerima banyak sekali penghargaan dan aktif mengikuti organisasi kampus dan kegiatan berskala nasional, bahkan internasional. Rina Febriyani, mahasiswi Pendidikan Akuntansi Universitas Pedidikan Indonesia (UPI) Bandung misalnya. Rina sanggup mengikuti International Cultural Summit, Indonesia Model of United Nation (IMUN), juga aktivitas kepemudaan Global Youth Voice Conference.

Tak hanya Rina. Prestasi lainnya juga diraih Septi Setiawati, mahasiswi Politeknik Bandung, Program Studi D3-Teknik Informatika menerima Medallion for Excellence dari London dalam rangka Worldskills Competition 2011.

Memang, bagi para peserta Bidikmisi, aktivitas beasiswa tersebut merupakan berkah dan anugerah tak terkira. Bahkan, ada yang menyebutnya sebagai sebuah keajaiban, Tuhan Maha Kaya.

Betapa tidak. Mereka yaitu bawah umur miskin dari banyak sekali kawasan Indonesia, termasuk dari kawasan terpenci. Mereka, seolah-olah, dipersilakan seketika untuk memasuki pintu gerbang perguruan tinggi di kota dengan gratis. Bahkan, mereka juga mendapatkan uang saku atau biaya hidup.

Ya, kisah-kisah kebahagiaan dan rasa bersyukur mereka memang tergambar berpengaruh di buku ini. Mereka bertutur perihal kondisi keluarga, himpitan ekonomi, dan keinginan yang sekarang berani dipeluknya. Kisah mereka begitu menyentuh dan inspiratif, alasannya yang mereka sampaikan yaitu realitas, bukan sekadar retorika indah buatan para motivator.

Mereka juga pontang-panting mengurus segala persyaratan, mulai dari foto keluarga, foto rumah, maupun surat keterangan tidak bisa (SKTM). Bahkan, ada yang nyaris gagal hanya karena tak bisa mengatakan fotokopi surat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Bagaimana bisa punya, rumah sederhana yang dihuni itupun statusnya cuma mengontrak? Calon mahasiswa ini juga harus lari ke warnet untuk mendaftar secara online atau tidur di musala alasannya tak punya sanak saudara di kota.

Yang penting sekolah

Mereka yaitu anak keluarga susah. Ayah mereka bekerja sebagai sopir, buruh serabutan, tukang tagih nasabah koperasi, nelayan, hingga kuli di pasar tradisional yang penghasilannya tak lebih dari Rp 10 ribu per hari.

Hidup mereka serba kekurangan, namun mereka tinggal dalam perhatian dan kasih sayang orangtua yang berlimpah. Orangtua yang rela menghilang beberapa hari untuk ngebut memulung botol plastik, semoga tunggakan SPP anaknya segera terlunasi, supaya anak-anaknya bisa ikut ujian dan tidak dipermalukan temannya. Orangtua yang tak banyak bicara, tetapi tak henti menggumamkan doa.

"Yang penting bisa kau sekolah, biar hidupmu tidak susah ibarat kami," begitu rata-rata ratifikasi mereka.

Setelah mendapatkan Bidikmisi dan berkuliah, bukan berarti tamat semua persoalan bawah umur itu. Mahasiswa Bidikmisi harus berjuang meraih nilai tinggi dan sanggup hidup dengan uang saku Rp600 ribu per bulan. Ada kalanya uang bulanan itu terlambat cair, maka seribu jurus survival mereka lakukan, mulai dari jalan pintas ngutang ke teman, memberi les privat, menjahit kerudung, menjual suara, hingga menjadi motivator muda. 

Yang menarik, uang bulanan dari Pemerintah itu ternyata tidak dinikmati sendiri. Mana tega, jikalau di kampung adik-adik juga butuh biaya? Walhasil, manfaat uang Bidikmisi menjadi berganda, yang menggelinding bagai dana bergulir.

Phillip Anggo Krisbiantoro, mahasiswa Universitas Gajahmada Yogyakarta, ini misalnya. Philip mengaku rela menyebarkan dengan tiga adiknya di desa. Dia harus turut menopang ekonomi keluarga alasannya ayahnya hanya kuli bangunan dan ibunya seorang pembantu rumah tangga.

"Walau sanggup Bidikmisi, makan saya masih kurang alasannya saya harus membagi uang dengan adik-adik saya. Jadi, pemberian Rp 600 ribu itu saya bagi dua. Untuk biaya sekolah ketiga adik saya dan biaya hidup saya," katanya di hadapan Mendikbud Mohammad Nuh.

Gugum Gumilar juga demikian. Penerima Bidikmisi tahun 2011 di Universitas Negeri Jakarta ini merasa perlu menyebarkan rezeki dengan adik-adiknya. Bahkan, ada juga mahasiswa yang berilmu menyisihkan sebagian uang Bidikmisi untuk membesarkan warung bakso ayahnya sehingga lebih layak dan jadi meningkat omzetnya.

Begitulah, sehabis susukan dibuka, hasilnya demikian nyata. Mereka berharap semoga ke depan makin banyak anak keluarga tidak bisa yang sanggup didanai Bidikmisi. Harapan ini kolam gayung bersambut. 

Memang, ini bukan basa-basi. Keberadaan aktivitas Bidikmisi ini sudah tersurat dalam Undang-undang No. 12/2012 perihal Pendidikan Tinggi. Pasal 74 ayat (1) yang menegaskan, “PTN wajib mencari dan menjaring calon mahasiswa yang mempunyai potensi akademik tinggi, tetapi kurang bisa secara ekonomi dan calon mahasiswa dari kawasan terdepan, terluar, dan tertinggal, untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari mahasiswa gres yang diterima dan tersebar pada semua aktivitas studi".

Kini, alasannya sudah tercantum di UU (bukan hanya Peraturan Menteri atau Peraturan Pemerintah), berarti kebijakan perihal pendidikan tinggi bagi keluarga miskin bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab negara. Sebuah peluang emas bagi anak keluarga tidak bisa untuk mengembangkan potensi dan menggapai harapan.

Inilah kebangkitan kaum duafa. Karena telah didanai oleh negara, kelak mereka niscaya tergerak untuk membalas akal kepada bangsanya. Menjadi generasi yang turut mengibarkan panji merah putih lebih tinggi-tinggi.

0 Response to "Seribu Satu Dongeng Peserta Beasiswa - Kebangkitan Kaum Du’Afa, Bidikmisi Memutus Mata Rantai Kemiskinan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel